Pernikahan dan Penghasilan
Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah
tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum
mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia
mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil.
Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP,
motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan
terjadi pada kehidupan manusia?
Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin
menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang
pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin
menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan,
melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin
besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang
hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.
Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa
Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan
sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan
tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan,
manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah
sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab
alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua
orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang
sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia
juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana
Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah
Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.
Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui
setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab
yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah,
memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut
biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah
hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang
menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara
ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak.
Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk
memasuki dunia pernikahan.
Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah
sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu
masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian
ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim,
jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah,
agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah
rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.
Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu
berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan
memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah
untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah,
dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’
liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).
Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya
dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan
akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam
hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang
menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)
Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin
Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin
Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan
kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’
oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di
atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada
Allah dengan membangun pernikahan.
Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang
berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka
berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa
mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada
garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda
bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa
banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih
makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan
bukan sebuah persyaratan utama.
Yang paling penting adalah kesiapan mental dan
kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin
bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah
itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul
beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak
zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau
ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.
Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena
masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah
lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang
seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki
seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang
oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya
saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.
_____________________________________________________________________
Written by : H.Abdullah Najib

