Pernikahan dan Menuntut Ilmu
Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu
terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis
mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut.
Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.
Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal
mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha,
seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan
mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup
kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah
tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu
dulu baru setelah itu menikah.
Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar,
hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi
banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah
doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan
pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk
mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya
itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda
pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits
berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu
atau belum mempunyai penghasilan.
Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak
menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam
mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu
tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk
mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya
mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari
kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih
bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.
Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat
mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri.
Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua
itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya
terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus
dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas
sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan
gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri.
Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia
sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus
ditahan-tahan.
Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus
selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda
ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab)
demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti
para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal,
menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan
ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para
ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika
benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya
tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.
=======================================================
Written by : H.Abdullah Najib

