2. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Sebelum
Kompilasi Hukum Islam hadir, ketentuan tentang perkawinan, telah diatur
secara legal formal dalam UU No: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan
perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan
alasan yakni :
pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah
undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan
pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa,
negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak
merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan,
maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.M.
Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam pasal
ini sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti
dalam membacanya akan mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan
dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga menganggap bahwa RUU ini
merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap hal yang dilarang
Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk
perkawinan antar agama.Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku
dan daerah asal sehingga dianggap tidak menghalangi sahnya suatu
perkawinan adalah merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam
sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu misionaris.
Kedua,
ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan
beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1)
dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan
perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.
Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat dipahami bahwa
undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan
cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping
cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah
suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai
telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung
kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama
tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang
diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f)
bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang
ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan
Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No.
158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan
sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
Dari
ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB.
1898/158) sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat
diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat
pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung
asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri
sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain
itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan
rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang
berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.
Rumusan
di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing.Adapun perkawinan antara sesama
warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk
perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan
campuran menurut undang-undang ini.
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada
pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara
seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
2. Pasal 44 KHI;
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
3. Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.
4. Pasal 116 KHI;
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
2. Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
5. Antara
suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6. Suami melanggar taklik talak.
7. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Jika
dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam batang tubuh Kompilasi Hukum
Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak berada dalam satu Bab
tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab larangan
kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan perkawinan,
sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab putusnya perkawinan.
Wallaahu a’lam bish shawab.
____________________________________________________
Written by : azang kecil

