PASTIKAN NIKAH ANDA TERCATAT DI KUA , NIKAH DI KUA GRATIS ... , NIKAH DILUAR KANTOR BAYAR Rp. 600.000,- ( DISETOR LANGSUNG KE BANK ) LAYANAN KUA GRATIS ( LEGALISIR, REKOMENDASI, IKRAR WAKAF, DUPLIKAT, KONSELING DAN BIMBINGAN KEAGAMAAN ) # SMS CENTER 081228249995 #
Home » » Perkawinan Berbeda Agama ( 2 )

Perkawinan Berbeda Agama ( 2 )

Written By Unknown on Monday, December 8, 2014 | 1:00 PM

 
 
2.    Perkawinan Berbeda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam 
 
Sebelum Kompilasi Hukum Islam hadir, ketentuan tentang perkawinan, telah diatur secara legal formal dalam UU No: 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni :
 
 pertama, dengan mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam pasal ini sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti dalam membacanya akan mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi juga menganggap bahwa RUU ini merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap hal yang dilarang Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk perkawinan antar agama.Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku dan daerah asal sehingga dianggap tidak menghalangi sahnya suatu perkawinan adalah merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak saja yaitu misionaris.
 
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f). Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”. Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat dipahami bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f) bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.
 
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.
 
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)  sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
 
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing.Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
 
      Adapun perkawinan beda agama  dalam Kompilasi Hukum Islam secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1.      Pada pasal 40 KHI, dinyatakan: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1.      Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
2.      Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
3.      Seorang wanita yang tidak beragama Islam. 
2.      Pasal 44 KHI;
”Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
3.      Pasal 61 KHI;
”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau  ikhtilaf al-din.
4.      Pasal 116 KHI;

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1.      Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
5.      Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
6.      Suami melanggar taklik talak.
7.      Peralihan agama atau murtad  yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
 
Jika dilihat ketentuan peraturan yang ada dalam batang tubuh Kompilasi Hukum Islam itu sendiri, pasal-pasal yang ada tidak berada dalam satu Bab tertentu. Pasal 40 KHI dan juga Pasal 44 dimasukkan dalam bab larangan kawin, sedangkan pasal 61 dimasukkan pada bab pencegahan perkawinan, sementara itu, pasal 116 KHI berada pada bab putusnya perkawinan. 
 
 Wallaahu a’lam bish shawab.
____________________________________________________
Written by : azang kecil
 
Share this article :
 
Support : Privacy Policy | Disclaimer | Contact
Copyright © 2014. Kua Kecamatan Limpung - Batang - All Rights Reserved
Jl.Limpung-Tersono KM.01 telp (0285) 4486533 Batang 51271
KUA Limpung