DARAH KEBIASAAN WANITA
PASAL 1
MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1. Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu
yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita
secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid
adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau
kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut
berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya,
sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2. Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin
yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan
oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk
menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada
diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi
janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada
tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan
menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu,
apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi,
kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit haid,
terutama pada awal masa penyusuan.
PASAL 2
USIA DAN MASA HAID
1. Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12
sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu
semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda
pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang
wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan
perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal ini semua, menurut
saya, keliru. Sebab, yang menjadi
acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
bagaimana pun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah
haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal
486)
Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang
wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai
9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan
hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan
usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah
yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada
satupun dalil yangmenunjukkan hal tersebut .
2. Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam
hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan: "Ada
kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas,
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar
berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah Ta 'ala.
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu
kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci"
(Al-Baqarah :222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam,
ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat
(alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid
berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid) tidakberlaku lagi
hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa
Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram
untuk umrah:

"Lakukanlah apa yang
dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di ka'bah sebelum kamu
suci".
Kata Aisyah: "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".
Dalam Shahih Al Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam
bersabda kepada Aisyah:

"Tunggulah. Jika kamu suci, maka
keluarlah ke Tan'im"
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini
menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang
disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al Qur'an maupun
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ; padahal ini perlu, bahkan amat
mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut
termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah
kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang
berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana AUah dan Rasul-Nya
telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya,
ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya dan
siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang haji
dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur,
jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang
hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan
kelengkapan agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum Mu'minin.
Oleh karena pembatasan dan rincian
tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi SAW maka nyatalah
bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya
dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan
hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni suatu hukum tidak
dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda
dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena
hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari
Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang diketahui, atau qiyas
yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan: "Di antara sebutan yang
dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu
sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun
masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang
menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan
dengan batasan lainnya.
Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah
menyalahi Kitab dan Sunnah.
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum
sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran.
Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara
hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga
tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau
antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan
kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama.
Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari
itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah hal inibertentangandengan
qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari
tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat
dikalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkanbahwa dalam masalah ini
tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan
hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu
pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila
terjadi perselisihan pendapat adalah Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan
tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang
rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan
disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluamya darah itu terus
menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari
dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan dijelaskan, Insya Allah, tentang
istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah
haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah."
Kata beliau pula: "Maka darah
yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau
karena luka."
Pendapat ini sebagaimana merupakan
pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat
dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada
pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,pendapat inilah yang
lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam,
yaitu: mudah dan gampang.
Finman Allah Ta 'ala:
"Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. " (Al Hajj : 78 )
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam :
"Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun mempersulit
(berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah
lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira.
" (Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu
alaihi wasalam bahwajika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka
dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika
dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad,
rahimahullah, " Kaumwanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan
berhentinya haid".
Apabila wanita hamil mengeluarkan
darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit,
maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum
kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu
bukan darah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula
baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti
hukum-hukum haid? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah
ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah
tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya.
Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama
tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan
dalam Al Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan
tejadinya haid pada wanita hamil.
Inilah madzhab Imam Malik dan
Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan
dalam kitab Al Ikhtiyarat (hal. 30): "Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi
menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa
Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".
Dengan demikian, berlakulah pada haid
wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam
dua masalah:
1. Talak.
Diharamkan mentalak
wanitatidakhamildalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita
hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi
firman Allah Ta 'ala:
"...
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)..."(Ath-Thalaaq: 1)
Adapun mentalak wanita hamil dalam
keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita
hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik
dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan kehamilan. Untuk
itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan
jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2.Iddah.
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir
dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan
firman Allah Ta 'ala:
PASAL 3
HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID
Ada beberapa hal yang terjadi di luar
kebiasaan haid:
1.
Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba
haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama
tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
2.
Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada
awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir
bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat
yang benar bahwa searang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada
dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam
keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya
serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pads pasal
terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah
mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I dan menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya,
katanya: "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan
menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi
penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat
dibutuhkan. Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan
penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun,
ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau
menjelaskannya kecuali yang berkenaan denganwanita yang istihadhah saja."
3.
Darah berwarna kuning atau keruh.
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau
keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini tejadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci,
maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika
terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid.
Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'Anha:
"Kami tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh
sesudah masa suci"
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh
Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci ", tetapi beliau sebutkan
dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari
untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu
melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab
ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna
kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa
yang disampaikan Ummu Athiyah".
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada
bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain
berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada
sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah
berkata:
"Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih ': maksudnya
cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.
4.
Darah haid keluar secara terputus-putus.
Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar.
Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :
1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah
itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala
saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan kondisi` ketika tidak keluar darah.
Apakah hal ini merupakan masa suci atau ternasuk dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih,
bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan
madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan
lendir putih; kalaupun diljadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya
adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tak ada seorangpun yang
menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan
perhitutungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja.
Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan
menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal
tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah
keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah
masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu
adalah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni: "Jika berhentinya darah kurang dari
sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat
yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang
dari sehari takperlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab,
dalam keadaan keluarya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekalitidak)
bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah
tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta 'ala berfinnan:
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan
keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia
suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau
ia melihat lendir putih."
Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan
pendapat moderat antara dua pendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang
benar.
5.
Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada
kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum
masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci,
maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama
dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
PASAL 4
HUKUM-HUKUM HAID
Terdapat banyak hukum haid, ada lebih
dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap
banyak diperlukan, antara lain:
1.
Shalat.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan
tidak sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan
shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu
rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia
sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah
suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan
sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum
matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka
wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena
ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak
cukup untuk satu rakaat sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama
- sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua -
sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah
mendapatkan shalat itu. (Hadits Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak
mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib
baginya mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat
dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang
benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian
waktunya saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari
terbenam, maka dia telah mendapatkan shalatAshav itu ': (Hadits muttafaq
'alaih).
Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan
Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan
menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah
madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal. 70.)
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak
makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta
mendengarkan Al Qur'an, maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini
berdasarkan hadits dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pemah bersandar di kamar Aisyah
Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lain beliau membaca Al Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah
Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul
Fitri dan Adha - serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa
orang-orang yang beriman.
Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.
Sedangkan membaca Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau
dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya,
mushaf atau lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat
seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal
ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama
mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu
JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat
Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya
yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari ",serta
menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang
melarang wanita haid membaca Al Qur'an.
Sedangkan pemyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat
Al qur 'an " adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli
hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya
shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kaum wanita
pun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, diketahui para isteri beliau
sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para sahabat kepada
orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada
larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini. Karena
itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya.
Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya, padahal banyak
pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita
katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan,
kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan
membaca Al Qur'an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu
ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.
2.
Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak
sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa
yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:
"Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa
dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah
puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib, dan wajib baginya
mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan
tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah
setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempuma
dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim belum ada
hukumnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya tentang wanita yang
bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi?
Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku
hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid
maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar.
Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru
mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub,
jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi
kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah
Radhiyallahu 'anha, katanya:
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau
berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).
3.
Tawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib
maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada Aisyah:
"Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya saja jangan melakukan
rhavaf di Ka'bah sebelum kamu suci.
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di
Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta
umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita
melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah
thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.
4.
Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan seluruh manasik haji dan umrah, lain
datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus
berlangsung sampai ia keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'.
Dasarya, hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan kepada jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi
mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu
tidak dibebankan kepada wanita haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu
Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada
ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran
(sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana
disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid
setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
kepadanya: "Kalau demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq
'Alaih).
Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram.
Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan
setelah suci.
5.
Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula
baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits Ummu Athiyah
Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita
haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
6.
Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang sedang haid,
dan diharamkan bagi sang isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan
hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala: "Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran': Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktuu haid dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah: 222)
Yangdimaksud dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat
keluamya yaitu farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits
riwayat Muslim).
Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima
' dengan isterinya yang sedang haid dalam farjinya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah,
sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa
yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya
serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam
Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa
besar. Dan menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang
menghalallkan senggama dengan isteri yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima'
(senggama), seperti: berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah
farji (vagina).
Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali
jika sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Aisyah Radhiallahu 'anha: 74.
"Pemah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu beliau menggauliku
sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq 'alaih).
7.
Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan
firman Allah Ta 'ala:
"Hai Nabi, apabila Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ...
"(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang
jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau
suci sebelum digauli.
Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat
menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak
itu tidak dihitung termasuk iddah.
Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang
dihadapinya tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena
digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan;
danjika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis
iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas
permasalahan tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas
dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim
serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan
haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan
bersabda:
"Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci,
lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya
atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah
dalam mentalak isteri."
Dengan demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang
sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk
kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari
haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia
menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang
dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya
(dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak
terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman :
"….Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (
menghadapi) iddahnya (yang wajar)…" (Ath-Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya
pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh(penggantian), maka boleh bagi suami
menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara
suami-isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami
memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam
keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
" Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan berkata : "Ya Rasulullah, sungguh aku tidak
mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam
Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : "Maukah kamu
mengembalikan kepadanya?" Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda (kepada suaminya): "Terimalah
kebun itu, dan ceraikanlah ia" (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya apakah
si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri
dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun,
jika memang diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya
khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam
keadaanhaid: "Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat
(bahaya) bagi si isteri dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu
' adalah untuk menghilangkan madhmat bagi
si isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak
tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak
disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri
daripada menunggu lamanya masa 'iddah, maka
diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan
menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang
meminta Khulu' tentang keadaannya."
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal
itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun,
perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan berkumpul dengan
isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli
isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka
tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal
yang dilarang.
8.
Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul
dengannya,maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna
apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini
didasarkan pada firman Allah:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'…" (Al-Baqarah : 28).
Tiga kali guru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan
hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama
maupun sebentar.
Berdasarkan firman Allah:
"….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum
mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada
rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali,
maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti
haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia
tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati
haid dan ber-iddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak
ada,seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara
haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari
tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan
kaidah-kaidah syar'iyah Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara
haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang
terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya
karena sebab yang tidakjelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan
perhitungan: sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk
kemungkinan hamil(karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan
untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri
dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik
dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta
menyempurnakannya.. " (Al-Ahzaab: 49 )
9.
Keputusan bebasnya rahim.
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama
keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan
beberapa masalah.
Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang
kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah
itu bersuami lagi.
Maka suaminya yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas
kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa
janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita
putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama),
maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan
karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya
haid.
10.
Kewajiban mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya.
Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci
mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan sampai
bagian kulit yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah
sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda:
"Hendaklah seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu
berwudhu sempurna, kemudian menguyurkan air diatas kepala dan
menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata keseluruh kepalanya, selanjutnya
mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu mengambil sehelai kain
putih yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. 'Asma bertanya:
"Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab: "Subhanallah."
Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata: "Ikutilah bekas-bekas
darah." (HR. Muslim )
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air
tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam
Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
"Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepaskannya
untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain "untuk (mandi) haid
danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram kepalamu tiga
kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka
kamupun menjadi suci."
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus
segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam
perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya
dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh
bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak
ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi
menunda mandi ke waktu lain, dalihnya:
''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi
ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi sekedar untuk
memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada
kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
___________________________________________________
Written by : Azang kecil
1. Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu
yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita
secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid
adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau
kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut
berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya,
sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2. Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin
yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan
oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk
menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada
diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi
janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada
tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan
menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu,
apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi,
kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit haid,
terutama pada awal masa penyusuan.
PASAL 2
USIA DAN MASA HAID
1. Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12
sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid
sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu
semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda
pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang
wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan
perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal ini semua, menurut
saya, keliru. Sebab, yang menjadi
acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi
bagaimana pun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah
haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal
486)
Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang
wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai
9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan
hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan
usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah
yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada
satupun dalil yangmenunjukkan hal tersebut .
2. Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam
hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan: "Ada
kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari
minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas,
dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar
berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah Ta 'ala.
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu
kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita
diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci"
(Al-Baqarah :222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam,
ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat
(alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid
berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid) tidakberlaku lagi
hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa
Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram
untuk umrah:
"Lakukanlah apa yang
dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di ka'bah sebelum kamu
suci".
Kata Aisyah: "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci".
Dalam Shahih Al Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam
bersabda kepada Aisyah:
"Tunggulah. Jika kamu suci, maka
keluarlah ke Tan'im"
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi
sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini
menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang
disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al Qur'an maupun
Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ; padahal ini perlu, bahkan amat
mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut
termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah
kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya
kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang
berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana AUah dan Rasul-Nya
telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya,
ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya dan
siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang haji
dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur,
jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang
hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan
perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan
kelengkapan agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum Mu'minin.
Oleh karena pembatasan dan rincian
tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi SAW maka nyatalah
bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya
dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan
hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni suatu hukum tidak
dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda
dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena
hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari
Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang diketahui, atau qiyas
yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan: "Di antara sebutan yang
dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu
sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun
masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang
menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan
dengan batasan lainnya.
Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah
menyalahi Kitab dan Sunnah.
Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum
sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran.
Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara
hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga
tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau
antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan
kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama.
Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari
itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah hal inibertentangandengan
qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari
tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat?
Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat
dikalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkanbahwa dalam masalah ini
tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan
hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu
pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila
terjadi perselisihan pendapat adalah Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan
tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang
rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan
disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa
mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluamya darah itu terus
menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari
dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan dijelaskan, Insya Allah, tentang
istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah
haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah."
Kata beliau pula: "Maka darah
yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau
karena luka."
Pendapat ini sebagaimana merupakan
pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat
dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada
pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,pendapat inilah yang
lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam,
yaitu: mudah dan gampang.
Finman Allah Ta 'ala:
"Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. " (Al Hajj : 78 )
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam :
"Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun mempersulit
(berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah
lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira.
" (Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu
alaihi wasalam bahwajika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka
dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika
dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad,
rahimahullah, " Kaumwanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan
berhentinya haid".
Apabila wanita hamil mengeluarkan
darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit,
maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum
kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu
bukan darah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula
baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti
hukum-hukum haid? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah
ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah
tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya.
Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama
tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan
dalam Al Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan
tejadinya haid pada wanita hamil.
Inilah madzhab Imam Malik dan
Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan
dalam kitab Al Ikhtiyarat (hal. 30): "Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi
menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa
Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".
Dengan demikian, berlakulah pada haid
wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam
dua masalah:
1. Talak.
Diharamkan mentalak
wanitatidakhamildalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita
hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi
firman Allah Ta 'ala:
"...
apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar)..."(Ath-Thalaaq: 1)
Adapun mentalak wanita hamil dalam
keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita
hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik
dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan kehamilan. Untuk
itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan
jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2.Iddah.
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir
dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan
firman Allah Ta 'ala:
PASAL 3
HAL-HAL DI LUAR KEBIASAAN HAID
Ada beberapa hal yang terjadi di luar
kebiasaan haid:
1.
Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba
haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama
tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.
2.
Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada
awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir
bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat
yang benar bahwa searang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada
dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam
keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya
serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pads pasal
terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah
mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I dan menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya,
katanya: "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan
menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi
penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat
dibutuhkan. Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan
penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun,
ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau
menjelaskannya kecuali yang berkenaan denganwanita yang istihadhah saja."
3.
Darah berwarna kuning atau keruh.
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau
keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman.
Jika hal ini tejadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci,
maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika
terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid.
Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'Anha:
"Kami tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh
sesudah masa suci"
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh
Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci ", tetapi beliau sebutkan
dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari
untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu
melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab
ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna
kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa
yang disampaikan Ummu Athiyah".
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada
bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain
berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada
sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah
berkata:
"Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih ': maksudnya
cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.
4.
Darah haid keluar secara terputus-putus.
Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar.
Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :
1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah
itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala
saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda
pendapat dalam menentukan kondisi` ketika tidak keluar darah.
Apakah hal ini merupakan masa suci atau ternasuk dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih,
bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan
madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan
lendir putih; kalaupun diljadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya
adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tak ada seorangpun yang
menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan
perhitutungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja.
Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan
menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal
tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah
keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah
masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu
adalah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni: "Jika berhentinya darah kurang dari
sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat
yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang
dari sehari takperlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab,
dalam keadaan keluarya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekalitidak)
bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah
tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta 'ala berfinnan:
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan
keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia
suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau
ia melihat lendir putih."
Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan
pendapat moderat antara dua pendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang
benar.
5.
Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada
kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum
masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci,
maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama
dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.
PASAL 4
HUKUM-HUKUM HAID
Terdapat banyak hukum haid, ada lebih
dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap
banyak diperlukan, antara lain:
1.
Shalat.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan
tidak sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan
shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu
rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia
sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah
suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan
sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum
matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka
wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena
ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu
rakaat.
Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak
cukup untuk satu rakaat sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama
- sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua -
sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah
mendapatkan shalat itu. (Hadits Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak
mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib
baginya mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat
dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang
benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian
waktunya saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam :
"Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari
terbenam, maka dia telah mendapatkan shalatAshav itu ': (Hadits muttafaq
'alaih).
Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan
Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan
menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah
madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal. 70.)
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak
makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta
mendengarkan Al Qur'an, maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini
berdasarkan hadits dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pemah bersandar di kamar Aisyah
Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lain beliau membaca Al Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah
Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul
Fitri dan Adha - serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa
orang-orang yang beriman.
Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.
Sedangkan membaca Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau
dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya,
mushaf atau lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat
seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal
ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama
mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu
JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat
Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya
yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari ",serta
menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa
kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang
melarang wanita haid membaca Al Qur'an.
Sedangkan pemyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat
Al qur 'an " adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli
hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya
shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kaum wanita
pun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, diketahui para isteri beliau
sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para sahabat kepada
orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada
larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini. Karena
itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya.
Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya, padahal banyak
pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita
katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan,
kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan
membaca Al Qur'an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu
ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.
2.
Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak
sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa
yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:
"Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa
dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah
puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib, dan wajib baginya
mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan
tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah
setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempuma
dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim belum ada
hukumnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya tentang wanita yang
bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi?
Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku
hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan
tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid
maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar.
Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru
mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub,
jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi
kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah
Radhiyallahu 'anha, katanya:
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau
berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).
3.
Tawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib
maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu
'alaihi wasallam kepada Aisyah:
"Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya saja jangan melakukan
rhavaf di Ka'bah sebelum kamu suci.
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di
Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta
umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita
melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah
thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.
4.
Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan seluruh manasik haji dan umrah, lain
datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus
berlangsung sampai ia keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'.
Dasarya, hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan kepada jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi
mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu
tidak dibebankan kepada wanita haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu
Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada
ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran
(sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana
disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid
setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda
kepadanya: "Kalau demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq
'Alaih).
Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram.
Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya.
Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan
setelah suci.
5.
Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula
baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits Ummu Athiyah
Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita
haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
6.
Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang sedang haid,
dan diharamkan bagi sang isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan
hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala: "Mereka bertanya
kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran': Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktuu haid dan
janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah: 222)
Yangdimaksud dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat
keluamya yaitu farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
"Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits
riwayat Muslim).
Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima
' dengan isterinya yang sedang haid dalam farjinya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah,
sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa
yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya
serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam
Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa
besar. Dan menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang
menghalallkan senggama dengan isteri yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima'
(senggama), seperti: berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah
farji (vagina).
Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali
jika sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan Aisyah Radhiallahu 'anha: 74.
"Pemah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu beliau menggauliku
sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq 'alaih).
7.
Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan
firman Allah Ta 'ala:
"Hai Nabi, apabila Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ...
"(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang
jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau
suci sebelum digauli.
Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat
menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak
itu tidak dihitung termasuk iddah.
Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang
dihadapinya tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena
digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan;
danjika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis
iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas
permasalahan tersebut.
Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas
dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim
serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan
haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan
bersabda:
"Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci,
lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya
atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah
dalam mentalak isteri."
Dengan demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang
sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk
kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari
haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia
menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang
dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya
(dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh
mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak
terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman :
"….Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (
menghadapi) iddahnya (yang wajar)…" (Ath-Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya
pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh(penggantian), maka boleh bagi suami
menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara
suami-isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami
memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam
keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
" Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam dan berkata : "Ya Rasulullah, sungguh aku tidak
mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam
Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : "Maukah kamu
mengembalikan kepadanya?" Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda (kepada suaminya): "Terimalah
kebun itu, dan ceraikanlah ia" (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya apakah
si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri
dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun,
jika memang diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya
khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam
keadaanhaid: "Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat
(bahaya) bagi si isteri dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu
' adalah untuk menghilangkan madhmat bagi
si isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak
tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak
disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri
daripada menunggu lamanya masa 'iddah, maka
diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan
menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang
meminta Khulu' tentang keadaannya."
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal
itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun,
perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan berkumpul dengan
isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli
isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka
tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal
yang dilarang.
8.
Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul
dengannya,maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna
apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini
didasarkan pada firman Allah:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'…" (Al-Baqarah : 28).
Tiga kali guru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan
hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama
maupun sebentar.
Berdasarkan firman Allah:
"….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum
mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada
rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali,
maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti
haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia
tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati
haid dan ber-iddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak
ada,seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara
haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari
tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan
kaidah-kaidah syar'iyah Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara
haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang
terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya
karena sebab yang tidakjelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan
perhitungan: sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk
kemungkinan hamil(karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan
untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri
dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik
dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta
menyempurnakannya.. " (Al-Ahzaab: 49 )
9.
Keputusan bebasnya rahim.
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama
keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan
beberapa masalah.
Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang
kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah
itu bersuami lagi.
Maka suaminya yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas
kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa
janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita
putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama),
maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan
karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya
haid.
10.
Kewajiban mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya.
Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci
mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan sampai
bagian kulit yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah
sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda:
"Hendaklah seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu
berwudhu sempurna, kemudian menguyurkan air diatas kepala dan
menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata keseluruh kepalanya, selanjutnya
mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu mengambil sehelai kain
putih yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. 'Asma bertanya:
"Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab: "Subhanallah."
Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata: "Ikutilah bekas-bekas
darah." (HR. Muslim )
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air
tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam
Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
"Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepaskannya
untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain "untuk (mandi) haid
danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram kepalamu tiga
kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka
kamupun menjadi suci."
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus
segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam
perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya
dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh
bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak
ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi
menunda mandi ke waktu lain, dalihnya:
''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi
ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi sekedar untuk
memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada
kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.
___________________________________________________
Written by : Azang kecil
