KETIKA ISTRI MENGGUGAT EKSISTENSI
PERNIKAHAN
Arus modernisasi dan globalisasi turut mengubah pola pikir
laki - laki dan perempuan, karena seiring dengan canggihnya alat komunikasi dan maraknya
media sosial semacam facebook,
twitter, weChat, skype, line, dan lain-lain maka berpengaruh pula pada
hilangnya sekat dari hubungan pergaulan laki - laki dan perempuan
Di zaman yang serba modern ini inisiator dalam hal gugat
menggugat perceraian ternyata lebih banyak didominasi perempuan. Terdapat
beberapa sebab mengapa hal itu bisa terjadi, tentu saja diantaranya karena
terdapat faktor ekonomi dimana penghasilan suami tidak mencukupi kebutuhan
rumahtangga, adanya faktor sosial, dan gangguan dari hadirnya orang ketiga
(PIL/WIL).
Gangguan dalam membangun rumah tangga diantaranya disebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1)
Hadirnya Pihak Ketiga (Tergoda PIL/WIL)
Hancurnya sebuah pernikahan dijaman ini sering disebabkan karena
adanya pihak ketiga yang hadir dan menjadi teror bagi suami/istri. Hal ini
bukanlah suatu hal yang mustahil, bila seorang isteri telah tertarik kepada
lelaki lain dan tergoda padanya, atau sebaliknya, bila seorang suami
tergila-gila pada wanita lain dan tergoda padanya. Maka bisa dipastikan,
bahtera rumah tangga telah terancam untuk kandas ditengah jalan.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa suatu saat pada zaman
Rasulullah SAW., terdapat seorang isteri sahabat yang gampang tergoda tertarik dengan
lelaki lain dan membiarkan dirinya disentuh oleh pria tersebut. Karena tidak
terima, maka sang suami lapor kepada Rasulullah SAW., lalu beliau (Nabi)
berkata : “Ceraikanlah isterimu”. Akan tetapi lelaki tersebut menolaknya.
Kemudian Rasulullah berkata lagi: “Bersenang-senanglah engkau dengannya” (HR.
Ibnu Syaibah).
Berdasar hadits tersebut ada beberapa ulama yang berpendapat
bahwa bila ada seorang istri yang tertarik kepada lelaki lain bahkan membiarkan
dirinya disentuh lelaki tersebut, asal belum sampai berzina, maka suaminya
diberi kebebasan untuk memilih antara menceraikan isterinya atau tetap
mempertahankan pernikahannya.
2)
Aspek Ekonomi
Dijaman
ini, ekonomi sering dituding menjadi sebab utama terjadinya perceraian. Hal
tersebut diperparah dengan penafsiran terhadap kesetaraan gender, yang makin
melenceng. Bahkan bagi para wanita karier peran suami tidak lagi dominan, sebab
mereka menganggap toh tanpa suami mereka masih bisa mencukupi kebutuhan
hidupnya sendiri. Kini, pola pikir perempuan semakin merasa mampu dan bisa
berdiri sendiri (bekerja) tanpa suami. Dan bisa ditebak, pada akhirnya mereka
bisa saja menjadi semena-mena kepada suami, apalagi bila kedudukan, jabatan,
dan uang yang dikumpulkan oleh istri jauh melebihi pendapatan suami.
Sementara
kesalahan penafsiran kesetaraan gender membuat perempuan seringkali membantah
jika diperingatkan suami. Padahal, konsep sebuah keluarga seharusnya, suami
jadi pemimpin dan segala sesuatu atau perintahnya yang baik, harus selalu
ditaati oleh istri. Terlebih, emosional perempuan lebih tinggi dari laki-laki,
yang membuatnya sulit dikendalikan. Akibatnya, saat istri tidak puas sedikit
saja, langsung meminta cerai tanpa mau peduli penjelasan dari suaminya.
Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ayat;
“Orang-orang
yang mampu hendaklah memberi belanja menurut kemampuannya. Dan orang yang
sedikit rizkinya hendaklah memberikan belanja dari harta yang telah Allah
karuniakan kepadanya. Allah tidak membebankan kepada seseorang di luar kemampuan
yang diberikan-Nya kepada-Nya. Allah akan memberikan kemudahan sesudah
kesulitan” (Ath Thalaq/65 : 7).
3) Jenuh
Pada Pasangan
Mungkin bagi para muda-mudi yang sedang jatuh cinta atau bagi
para pengantin baru, mereka tidak percaya bahwa suatu saat mereka mengalami
perasaan jenuh atau bosan pada pasangannya. Namun mungkin bagi mereka yang
sudah menjalani 10 tahun kehidupan pernikahan akan muncul rasa jenuh dan bosan
pada pasangannya. Bagaimana tidak, ketika telah menikah, pasangan suami
istri akan sering berinteraksi. Akan timbul masalah-masalah kecil, percekcokan
dan pertengakaran kecil. Yang bila hal ini tidak bisa dimenej dengan baik maka
hal itu akan tumbuh dan menjadi permasalahan serius, bahkan bisa jadi bom
waktu.
Seiring berjalannya waktu, fisik pasangan tentu akan berubah.
Mungkin kasih sayang dan perhatian pasangan juga akan berkurang. Sebab
perhatian mereka akan tersita oleh kesibukan pekerjaan atau hadirnya buah hati.
Yang kesemua ini bisa saja akan muncul dengan sendirinya dalam perjalanan
mengarungi bahtera pernikahan. Bahayanya adalah bila rasa jenuh, bosan dan
hambar pada “rasa” pernikahan tersebut justru menjadi sebab dari keinginan
untuk mencari pelampiasan pada pihak ketiga untuk mengusir rasa jenuh itu.
Namun bila rasa jenuh itu bisa dikelola dan dikendalikan serta dicarijalan
keluarnya maka kehidupan pernikahan akan tetap dapat dipertahankan.
Islam menawarkan sebuah
solusi untuk mengusir rasa jenuh tersebut. Dalam al-Qur’an Surat Ar-Rum ayat 21
dijelaskan sebagai berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir (QS. Ar-Rum:21)
Solusinya menurut Al-Qur’an yaitu terletak pada adanya landasan
MAWADDAH dan RAHMAH dalam pernikahan. MAWADDAH adalah cinta yang ditimbulkan
dari adanya daya tarik terhadap lawan jenisnya. Mungkin ini hanya terbatas pada
usia muda, bila penampilan fisik seorang pria masih ganteng dan gagah, dan
wanita masih muda, cantik dan mulus. Namun bila penampilan fisik yang bersifat
lahiriyah itu sudah tidak lagi menarik, maka satu-satunya perasaan yang harus
dikembangkan adalah sifat RAHMAH atau kasih sayang.
4)
Hasrat Biologis Tidak Terpenuhi
Dalam membangun sebuah rumah tangga terdapat sebuah pepatah,
“Kebutuhan bawah perut itu lebih dominan dari pada kebutuhan perut”. Bahkan,
bila kita tarik kearah perilaku korup para pejabat kita, maka bisa dipastikan
terdapat wanita-wanita sebagai “harem” untuk pelampiasan kebutuhan “bawah
perut”, sebut saja diantaranya adalah Fathanah dan Luthfi Hasan Ishaq.
Karena pentingnya
pemenuhan kebutuhan bawah perut itu, maka hendaknya setiap pasangan
suami-isteri tidak mengabaikan hal tersebut meski sibuk, karena bertambahnya
umur. Karena untuk urusan yang satu itu tidak ada istilah “tua” atau “capek”
untuk memberikan pada pasangannya. Bahkan dalam sebuah kisah Nabiyullah Daud
A.S. pernah berdoa:
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ زَوْجَةٍ تُشَيِّبُنِيْ قَبْلَ الْمُشِيْبِ
Artinya : “Ya Allah, aku mohon perlindungan Engkau dari
isteri yang menganggap aku sudah tua”.
Namun bila alasan karena tidak terpenuhinya hasrat biologis itu
disebabkan faktor “anin” (impoten), maka ada baiknya kita mengikuti nasehat
Umar Bin Khattab yang pernah menyatakan tentang keadaan suami/istri yang
mengalami lemah syahwat;
يُؤَجَّلُ
سَنَةً فَإِنْ قَدَرَ عَلَيْهَا، وَإِلاَّ فَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَلَهَا الْمَهْرُ
وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ (رواه البيهقي)
Artinya : “Beri tempo satu tahun, bila bisa sembuh
(pernikahannya dilanjutkan) dan bila tidak, ia diceraikan dan isterinya
mendapat mahar dan harus iddah” (HR. Al Baihaqi).
5) KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga sering menjadi sebab dari hancurnya
perkawinan. Banyak oknum yang justru menjadikan ayat al-qur’an sebagai
justifikasi dari perilaku menyimpang tersebut. Memang, dalam Al-Qur’an, Allah
SWT. berfirman:
“….. dan isteri-isteri yang kamu khawatirkan kedurhakaannya,
maka nasehatilah mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur sendirian dan
pukullah mereka. Jika mereka telah taat kepadamu, maka janganlah kamu
mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar”.
Ayat tersebut bukan melegalkan seseorang untuk menganiaya
pasangannya, namun ayat tersebut justru mengajarkan bahwa dalam sebuah
pernikahan suami wajib mendidik dan menasehati istrinya. Dia harus bisa menjadi
pemimpin dan imam yang baik bagi istrinya. Tindakan “pukul” bukanlah langkah
pertama yang dikedepankan, namun langkah terakhir untuk menyadarkan perilaku
“nusyuz” /durhakanya seorang istri.
Islam justru mengedepankan dan mengutamakan cara mendidik istri
dengan “menasehati”. Bila cara pertama itu tidak bisa, maka terdapat cara kedua
yaitu pisah ranjang, dan terakhir baru cara “kontak fisik dengan memukul”.
Namun pukulan itu bukanlah pukulan yang menyakiti, apalagi menyiksa dan
melukai. Namun pukulan itu hanyalah pukulan “sayang” untuk menyadarkan seorang
istri.
5 5. Aspek Ekonomi
Dijaman ini, ekonomi sering dituding menjadi sebab utama
terjadinya perceraian. Hal tersebut diperparah dengan penafsiran terhadap
kesetaraan gender, yang makin melenceng. Bahkan bagi para wanita karier peran
suami tidak lagi dominan, sebab mereka menganggap toh tanpa suami mereka masih
bisa mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Kini, pola pikir perempuan semakin
merasa mampu dan bisa berdiri sendiri (bekerja) tanpa suami. Dan bisa ditebak,
pada akhirnya mereka bisa saja menjadi semena-mena kepada suami, apalagi bila
kedudukan, jabatan, dan uang yang dikumpulkan oleh istri jauh melebihi
pendapatan suami.
Sementara kesalahan penafsiran kesetaraan gender membuat
perempuan seringkali membantah jika diperingatkan suami. Padahal, konsep sebuah
keluarga seharusnya, suami jadi pemimpin dan segala sesuatu atau perintahnya
yang baik, harus selalu ditaati oleh istri. Terlebih, emosional perempuan lebih
tinggi dari laki-laki, yang membuatnya sulit dikendalikan. Akibatnya, saat
istri tidak puas sedikit saja, langsung meminta cerai tanpa mau peduli
penjelasan dari suaminya. Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ayat;
“Orang-orang yang mampu hendaklah memberi belanja menurut
kemampuannya. Dan orang yang sedikit rizkinya hendaklah memberikan belanja dari
harta yang telah Allah karuniakan kepadanya. Allah tidak membebankan kepada
seseorang di luar kemampuan yang diberikan-Nya kepada-Nya. Allah akan
memberikan kemudahan sesudah kesulitan” (Ath Thalaq/65 : 7).
Tentu
saja untuk membangun sebuah negara dan bangsa yang maju, modern, dan
bermartabat harus diawali dengan membangun keluarga. Maka ketika seseorang
mencari pasangan hidup dan kemudian memutuskan untuk menikahinya, tak ada
salahnya menggunakan slogan “TELITI SEBELUM MEMBELI”
___________________________________________________
Written by : H. Abdullah Najib
