Kiat-kiat Menjadi Istri
Dambaan Hati
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ
لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ
بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ
يَتَفَكَّرُونَ ٢١
 “Dan
termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri agar kalian merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
(ar-Rum: 21)
Jenis Surat dan Sebab Turunnya
Ayat-ayat dalam surat ini adalah makkiyyah,
sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu az-Zubair radhiyallahu
‘anhum, bahkan telah berkata Ibnu ‘Athiyyah dan yang selainnya, “Tidak ada khilaf
(selisih pendapat) bahwa surat ini adalah makkiyyah, dan tidak ada yang
mengecualikan satu ayat pun darinya.” (Tafsir Ruhul Ma’ani lil Alusi
21/16)
Para ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa surat ini
turun tatkala orang-orang Persia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi
sehingga Raja Heraklius terjepit dan terkepung di Kostantinopel, Turki, dalam
waktu yang lama, hingga akhirnya Romawi kembali ke tangan Heraklius. Kaum
musyrikin Quraisy berbangga dengan kemenangan orang-orang Persia yang merupakan
penyembah berhala, sedangkan kaum muslimin lebih membanggakan kemenangan bangsa
Romawi. Sebab, bangsa Romawi adalah ahli kitab dan lebih dekat dengan agama
kaum muslimin daripada dengan musyrikin. 
Petikan Faedah Ayat
Dalam surat ini Allah subhanahu wa ta’ala
menyebutkan bermacam-macam tanda kekuasaan-Nya. Dia telah menjadikan langit dan
bumi serta berlain-lainan bahasa dan kulit umat manusia. Dia telah menjadikan
pasangan suami, yaitu istri, yang dengannya hati suami merasa tenang dan
tenteram, dan Dia munculkan al-mawaddah (kasih) dan ar-rahmah
(sayang) di antara mereka. Al-mawaddah (kasih) dan ar-rahmah
(sayang) adalah perkara batin yang bisa disaksikan oleh hati dan menjadi
renungan bagi orang yang berpikir.
Al-Mawaddah dan ar-Rahmah, Sebuah Dambaan
Al-mawaddah adalah bentuk masdar dari kata al-wudd yang
artinya adalah rasa cinta yang terjadi dalam semua pintu kebaikan. Al-mawaddah
(kasih) memiliki makna lebih dari sekadar makna al-mahabbah (cinta),
terlebih Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam ayat ini al-mawaddah
(kasih) yang diiringi dengan ar-rahmah (sayang). Hal ini menunjukkan khalishul
hubb (cinta yang tulus). 
Fondasi yang paling penting untuk membentuk keluarga
sakinah yang mawaddah dan rahmah adalah ilmu syar’i, yang
dengannya suami dan istri terbimbing dan mengetahui kewajiban masing-masing
terhadap pasangannya. Dengan demikian, cinta di antara keduanya bukan sekadar
cinta ‘alal fithrah, yaitu cinta makhluk terhadap lawan jenisnya untuk
melampiaskan nafsu saja.
Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan pernikahan sebagai tempat menyalurkan cinta di antara sepasang insan
sesuai dengan syariat. Pernikahan merupakan nikmat dan anugerah yang besar
kepada hamba-Nya, yang di dalamnya tumbuh sikap saling menyayangi dan
ketenangan hati pasangan suami istri.
Membentuk rumah tangga yang bahagia adalah tujuan dan
angan-angan setiap insan. Rumah adalah tempat kembali sang suami sepulang dari
jerih payahnya mengais nafkah. Jika dia masuk ke rumahnya dalam suasana yang
menyenangkan, terwujudlah keinginannya. Berapa banyak rumah yang sempit, tetapi
terasa luas lagi membahagiakan. Sebaliknya, berapa banyak pula rumah yang luas,
tetapi terasa sempit dan menyesakkan, bahkan berujung dengan perceraian
penghuninya. 
Kiat-kiat Istri Mewujudkan al-Mawaddah wa
ar-Rahmah
Salah satu impian besar kaum pria adalah menjadikan
wanita yang salihah sebagai pendamping di rumahnya, yang membuat dunia
tersenyum bahagia karena keberadaannya dan akhlaknya yang indah.
Dalam rubrik ini penulis akan membahas hal-hal yang
perlu dilakukan oleh istri guna menyemai benih cinta di hati suami.
1. Istri hendaknya mengetahui dan menunaikan hak-hak
suami, di antaranya:
- Menjaga rahasia suami dan tidak menyebarkannya.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
فَٱلصَّٰلِحَٰتُ
قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا
حَفِظَ ٱللَّهُۚ
“Maka wanita
yang salihah ialah yang taat (kepada suaminya), yang menjaga (kehormatan
dirinya dan harta suaminya) tatkala suaminya tidak ada, yang terjaga dengan
penjagaan Allah.” (an-Nisa’:
34) 
- Menaati suami dalam perkara yang baik.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
ٱلرِّجَالُ
قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ
“Kaum pria
adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (an-Nisa’: 34)
Bahwa pria lebih berkuasa atas wanita adalah termasuk
fitrah. Rumah tangga tidak akan berjalan dengan semestinya jika wanita lebih
berkuasa, sombong, dan mengendalikan suami. Bahkan, hal ini termasuk pintu
hancurnya rumah tangga.
- Selalu siap melayani panggilan suaminya ke ranjang tidurnya, kecuali jika ada udzur, seperti sedang haid, nifas, ihram, atau sakit.
Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ
إِلَى فِرَاشِهِ، فَأَبَتْ أَنْ تَجِيءَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا،
لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika suami
mengajak istrinya ke ranjangnya, tetapi si istri enggan datang sehingga suami
tidur dalam keadaan marah kepadanya, malaikat melaknat si istri hingga waktu
pagi.” (Muttafaqun
‘alaih)
Pengabaian istri terhadap ajakan suami tanpa udzur
adalah termasuk dosa besar. Sebab, salah satu ciri dosa besar adalah adanya
laknat sebagai akibat perbuatan tersebut.
Disebutkan oleh ulama bahwa istri wajib pula melayani
suami dalam kebutuhan keseharian, seperti menyiapkan makanannya.
- Menjaga rumah suami, hartanya, anak-anaknya, dan pendidikan bagi mereka.
Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ، فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ
عَلَى أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا
وَهِيَ مَسْئُولَةٌ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ،
أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
“Setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban. Seorang imam (penguasa) adalah
pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban. Pria adalah
pemimpin atas keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban. Wanita
adalah pemimpin atas rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban.
Budak adalah pemimpin atas harta tuannya dan akan dimintai
pertanggungjawaban. Ingatlah, setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban.” (Muttafaqun ‘alaih)
- Menjalin hubungan baik dan tidak menyakiti suami.
Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
لَا تُؤْذِي
امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ
الْعِيْنِ: لَا تُؤْذِيهِ قَاتَلَكَ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ
يُوشِكُ أَنْ يُّفَارِقَكَ إِلَيْنَا
“Tidaklah
seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan berucap istrinya dari
(kalangan) bidadari, ‘Jangan
kausakiti dia, semoga Allah membinasakanmu. Sesungguhnya dia hanyalah tamu di
sisimu dan hampir meninggalkanmu, lalu berkumpul dengan kami’.” (HR.
Ahmad 5/242 dan Ibnu Majah no. 2014, dinyatakan shahih oleh
al-Albani dalam ash-Shahihah no. 173)
Para bidadari cemburu kepada istri-istri di dunia yang
telah menyakiti para suami.
- Menghargai dan menghormati suami dengan sepatutnya karena agungnya derajat sang suami.
Allah subhanahu
wa ta’ala berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ
دَرَجَةٞۗ
“Dan para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihandaripada para istri.” (al-Baqarah:
228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
لَوْ كُنْتُ
آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ
لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku (boleh) memerintah seseorang untuk bersujud kepada
seseorang (yang lain), niscaya kuperintah wanita (istri) untuk bersujud
kepada suaminya.” (HR. Ibnu Majah no. 1852 dan al-Baihaqi
7/292, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah 3/202)
2. Menjalani
kehidupan berumah tangga dengan penuh cinta dan kesabaran.
Dalam surat ar-Rum: 21 ini pula Allah subhanahu wa
ta’ala menyebutkan لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا dan tidak men yebutkan لِتَسْكُنُوا مَعَهَا,
karena لِتَسْكُنُوا مَعَهَا mengandung arti tinggal bersamanya, baik dengan cinta maupun
tanpa cinta. Adapun لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا memiliki makna lebih, yaitu tinggal
bersamanya dengan kelemahlembutan, kasih sayang, kecintaan, dan ketenangan.
Memang sebab seorang wanita mencintai lawan jenisnya
sangatlah banyak, seperti ketampanannya, ketakwaannya, akhlaknya, kelebihannya,
muamalahnya, hartanya, kesetiaannya, dan sebagainya.
Akan tetapi, perlu diingat, manusia tidak ada yang
sempurna. Kita harus menyadari bahwa masing-masing mempunyai kekurangan dan kesalahan.
Berapa banyak istri yang mempunyai suami yang tidak tampan, tetapi sang istri
sangat mencintai dan merindukannya, merasa berat ditinggalkan atau jauh
darinya, dan selalu memuji suaminya walaupun banyak orang melihatnya penuh
dengan kekurangan. Sebaliknya, berapa banyak istri yang benci dan muak melihat
suaminya yang sangat tampan hingga berujung khulu’ dan perceraian.
Jadi, intinya adalah menyemai rasa cinta dan
menyuburkan kesabaran.
3. Saling memahami dan tidak egois.
Setiap individu mempunyai kemauan, kehendak, dan
kepribadian. Begitu pula halnya seorang wanita. Akan tetapi, tatkala wanita
sudah bergelar istri, dia harus tunduk kepada suami selama suami tidak bermaksiat
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُودُ الوَلُودُ
الْعَؤُودُ الَّتِي إِذَا ظُلِمَتْ قَالَتْ: هَذِهِ يَدِي فِي يَدِكَ، لَا أَذُوقُ
غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah
kalian kuberi tahu tentang
wanita-wanita kalian dari penghuni surga? (Yaitu) al-wadud (yang
menyayangi suaminya), al-walud (yang bisa melahirkan banyak anak), al-‘a’ud
(yang memberikan kemanfaatan kepada suaminya) yang tatkala disakiti, dia
berkata, ‘Ini tanganku ada di tanganmu. Aku tidak bisa tidur sebelum
engkau ridha’.” (HR. ad-Daruquthni dalam al-Afrad dari Ka’b
bin ‘Ujrah z, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.
2604)
Masalah dalam rumah tangga pasti didapati oleh setiap
pasangan, bahkan terjadi pada sebaik-baik makhluk, yaitu Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam. Masalah dalam rumah tangga layaknya garam dalam makanan;
jika garam ditambahkan seperlunya, makanan pun terasa lebih nikmat; jika
terlalu banyak, rusaklah rasa makanan tersebut.
Jika ada satu masalah yang merupakan kekurangan suami,
janganlah istri berpikir untuk membesarkan masalah tersebut. Akan tetapi,
pikirkan kebaikan suami yang sangat banyak yang telah diberikan kepada pujaan
hatinya, baik berupa waktu, harta, jerih payah, perasaan, maupun yang
selainnya. Yang demikian adalah termasuk wujud syukur nikmat Allah subhanahu
wa ta’ala.
Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
لا يَفْرَكْ
مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang pria (suami) beriman membenci seorang
wanita (istri) beriman. Jika ia tidak menyukai salah satu perangainya (wanita),
pasti ia menyukai darinya (perangai) yang lain.” (HR. Muslim
no. 1469)
Begitu pula sebaliknya wanita kepada suaminya.
Hendaknya
kita mencontoh para salaf (pendahulu) kita dalam hal muamalah suami
istri di kalangan mereka. Telah berkata Abu ad-Darda’ kepada istrinya radhiyallahu
‘anhuma,
إِذَا
رَأَيْتِنِي غَضَبْتُ فَرَضِّينِي، وَإِذَا رَأَيْتُكِ غَضَبْتِ رَضَّيْتُكِ،
وَإِلَّا لَمْ نَصْطَحِبْ
“Jika kamu
melihatku marah, buatlah aku ridha, dan jika aku melihatmu marah, kubuat kamu
ridha. Jikalau tidak, kita tidak akan bisa hidup bersama.” Telah
berkata al-Imam Ahmad rahimahullah ,
أَقَامَتْ
أُمُّ صَالِحٍ مَعِي عِشْرِيْنَ سَنَةً، فَمَا اخْتَلَفْتُ أَنَا وَهِيَ فِي
كَلِمَةٍ
“Ummu Shalih
hidup bersamaku selama dua puluh tahun, dan aku tidak pernah berselisih
(cekcok) dengannya walaupun dalam satu ucapan.” Hendaknya
istri memaklumi kesalahan suami, memaafkannya, dan selalu berbaik sangka
kepadanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
كُلُّ بَنِي
آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak
Adam punya kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
bertobat.” (HR.
at-Tirmidzi no. 2501, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahihul
Jami’ 4/171)
4. Berusaha
menjadi istri salihah yang membantu suami untuk taat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala.
Inilah impian terbesar suami yang dia harapkan dari
sang istri, karena istri bisa memengaruhi suami. Telah bersabda Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam,
اَلدُّنْيَا
مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia
adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang salihah.” (HR. Muslim, an-Nasa’i,
dan Ibnu Majah)
Beliau shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda pula,
لَيْسَ
مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
“Bukanlah
termasuk golongan kami orang yang menipu dan merusak (akhlak) wanita kepada
suaminya.” (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, al-Hakim,
dan Abu Ya’la, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi
Dawud no. 1890)
5. Berakhlak
mulia, tidak berteriak mengangkat suara atau memelototkan mata kepada suami.
Perlu diketahui bahwa wanita yang jelek akhlaknya
tidak perlu dipertahankan untuk hidup bersama suaminya, karena wanita seperti
ini menyebabkan kerusakan yang lebih banyak daripada kebaikan.
Beliau shallallahu
‘alaihi wassalam, bersabda,
ثَلَاثَةٌ
يَدْعُونَ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ: رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةُ
الْخُلُقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا…
“Ada tiga (golongan) yang doa mereka tidak dikabulkan:
laki-laki yang memiliki istri berakhlak jelek, tetapi tidak menceraikannya….”
(HR. al-Hakim, dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah
ash-Shahihah 1805)
6. Selalu
tersenyum, bermuka ceria, dan berucap lemah lembut.
Nabi shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda,
تَبَسَّمُكَ
فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di
depan saudaramu adalah sedekah.” (Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Shahih
Ibnu Hibban no. 474)
Dalam hadits yang lainnya,
اَلْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Perkataan yang baik adalah sedekah.” (HR. al-Bukhari no. 6022)
Maka dari itu, pilihlah kalimat yang lembut tatkala
berbicara dengan suami. Ucapan bisa menjadi senjata yang ampuh untuk
melumpuhkan lawan dan sangat berpengaruh untuk melembutkan hati.
7. Menjauhi perkara yang tidak disukai suami.
Wallahu a’lam bish shawab.
_________________________________________________________
Written by : H. Abdullah Najib 
 
 
    