Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya
harta. Namun kekayaan adalah hati yang selalu merasa cukup. (HR. Bukhari
Muslim)
Kacamata ini tidak bisa dibeli dan memang tidak dijual.
Namun dengan kacamata ini pandangan anda mengenai dunia akan semakin indah dan
terbuka. Tidak perlu mengeluarkan uang bila ingin memilikinya yang anda
perlukan hanya keinginan kuat untuk belajar sebuah ilmu untuk kemudian ‘siap’
untuk berubah. 
Kesederhanaan dalam definisi materi tentu saja tidak
boros. Adil, membelanjakan rizki secara proporsional bahkan menekan seefisien
mungkin. Punya banyak daya beli namun tidak membeli banyak sesuatu yang tak
perlu. Kesederhanaan yang ini benar-benar mengikuti aturan Islam seperti sesuai
dengan Firman Allah dalam Surat Al-Isra ayat 26-27:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat
akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah
kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.” [QS.Al Isra (17):26-27]
Namun percayalah kacamata kesederhanaan membawa kita
lebih dari itu. Kacamata kesederhanaan senantiasa membawa sifat syukur.
Memandang terlebih dahulu apa yang sudah terasakan baru bisa melihat kelebihan.
Bukankah kita sudah bosan menjadi orang yang bosan
dengan handphone yang dirasa kuno? Atau lelah dengan motor yang selalu mogok?
Atau pasrah dengan otak yang tak sepintar teman sebelah?
Tak ada cara lain selain menjawab semua pertanyaan
tersebut selain memandang hidup penuh kesederhanaan.
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Pandanglah orang yang berada di bawahmu
(dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada
di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak
meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Itulah yang akan membuat seseorang tidak memandang
remeh nikmat Allah karena dia selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah
harta dan dunia. Ketika dia melihat tetangganya memiliki rumah mewah dalam
hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah tetanggaku itu.”
Namun ketika dia memandang pada orang lain di
bawahnya, dia berkata, “Ternyata rumah si fulan dibanding dengan rumahku, masih
lebih bagus rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan
menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri nikmat
tersebut karena dia melihat masih banyak orang yang tertinggal jauh darinya.
Berbeda dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat
saudaranya memiliki Blackberry, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal
jauh dari temannya tersebut.
Akhirnya yang ada pada dirinya adalah kurang
mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit, bahkan
selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan membenci
temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang memiliki ponsel
dengan kualitas yang jauh lebih rendah.
Inilah cara
pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang saat
ini.
Bersyukur dulu bahwa handphone yang sama telah membawa
kita pada banyak silaturahmi yang terputus jarak dan waktu. Lalu berpikir
seandainya memaksakan diri membeli yang lebih canggih mampukah/butuhkah? kita
menggunakannya sesuai manfaatnya? Sungguh tak bisa dipercaya mendengar bahwa
orang yang selalu menciptakan handphone tercanggih adalah orang yang
menggunakan handphone kuno dan hanya berfungsi untuk menelpon dan SMS saja.
Motor mogok bukan juga alasan untuk lelah bila kita
berpikir bahwa sebelumnya kita pasti pernah menggunakan transportasi umum yang
setiap pagi berkejaran dengan waktu serta asap knalpot. Bahkan seandainya mau
duduk sebentar dengan kakek nenek kita pastilah kita malu bahwa mereka pernah
melintasi gunung hanya demi sekolah atau mencari pekerjaan.
Lebih disesali bila memang kita pasrah pada kondisi
kita tak mau belajar. Kepintaran itu bukan karunia melainkan usaha. Software
yang ada di otak untuk menyerap informasi sama seperti otak semua orang,
bedanya orang pintar memaksimalkan semua indra-nya untuk mencari ilmu baru.
Sederhanakan cara berfikir kita bahwa tak selalu orang
yang lebih pintar adalah orang yang berani nyogok dosen atau les di
tempat-tepat mahal. Siapa tahu mereka menyedikitkan waktu tidurnya untuk
belajar. Dengan memandang demikian bukan tidak mungkin kita ikut termotivasi
untuk menirunya. Berkat ke-positifan kita berpikir dunia akan lebih indah.
Semakin kita pandai memandang betapa dunia ini memberi
kita lebih dari yang kita harapkan maka dapat dikatakan anda sudah pandai
mengatur diri penuh kesederhanaan. Hanya persoalan waktu kita akan semakin
menyadari bahwa kesederhanaan membawa segala kemewahan.
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan;
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
[QS.Ibrahim (14):7]
Mudah-mudahan
bermanfaat untuk semua. Amin.
_____________________________________________________
Written by : H. Abdullah Najib 
 
 
    