Al Kisah : Rabi’ bin
Khaitsam adalah seorang pemuda yang terkenal ahli ibadah dan tidak mau
mendekati tempat maksiat sedikit pun. Jika berjalan pandangannya teduh
tertunduk. Meskipun masih muda, kesungguhan Rabi’ dalam beribadah telah diakui
oleh banyak ulama dan ditulis dalam banyak kitab. Imam Abdurrahman bin Ajlan
meriwayatkan bahwa Rabi’ bin Khaitsam pernah shalat tahajjud dengan membaca
surat Al Jatsiyah.
Ketika sampai pada ayat kedua puluh satu, ia menangis.
Ayat itu artinya, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan (dosa) itu
menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka sama dengan orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama antara kehidupan dan
kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu!”
Seluruh jiwa Rabi’ larut dalam penghayatan ayat itu. Kehidupan dan kematian
orang berbuat maksiat dengan orang yang mengerjakan amal shaleh itu tidak sama!
Rabi’ terus menangis sesenggukan dalam shalatnya. Ia mengulang-ulang ayat itu
sampai terbit fajar.
Kesalehan Rabi’ sering dijadikan teladan. Ibu-ibu dan
orang tua sering menjadikan Rabi’ sebagai profil pemuda alim yang harus
dicontoh oleh anak-anak mereka. Memang selain ahli ibadah, Rabi’ juga ramah.
Wajahnya tenang dan murah senyum kepada sesama.
Namun tidak semua orang suka dengan Rabi’. Ada
sekelompok orang ahli maksiat yang tidak suka dengan kezuhudan Rabi’.
Sekelompok orang itu ingin menghancurkan Rabi’. Mereka ingin mempermalukan
Rabi’ dalam lembah kenistaan. Mereka tidak menempuh jalur kekerasan, tapi
dengan cara yang halus dan licik. Ada lagi sekelompok orang yang ingin menguji
sampai sejauh mana ketangguhan iman Rabi’.
Dua kelompok orang itu bersekutu. Mereka menyewa
seorang wanita yang sangat cantik rupanya. Warna kulit dan bentuk tubuhnya
mempesona. Mereka memerintahkan wanita itu untuk menggoda Rabi’ agar bisa jatuh
dalam lembah kenistaan. Jika wanita cantik itu bisa menaklukkan Rabi’, maka ia
akan mendapatkan upah yang sangat tinggi, sampai seribu dirham. Wanita itu
begitu bersemangat dan yakin akan bisa membuat Rabi’ takluk pada pesona
kecantikannya.
Tatkala malam datang, rencana jahat itu benar-benar
dilaksanakan. Wanita itu berdandan sesempurna mungkin. Bulu-bulu matanya dibuat
sedemikian lentiknya. Bibirnya merah basah. Ia memilih pakaian sutera yang
terindah dan memakai wewangian yang merangsang. Setelah dirasa siap, ia
mendatangi rumah Rabi’ bin Khaitsam. Ia duduk di depan pintu rumah menunggu
Rabi’ bin Khaitsam datang dari masjid.
Suasana begitu sepi dan lenggang. Tak lama kemudian
Rabi’ datang. Wanita itu sudah siap dengan tipu dayanya. Mula-mula ia menutupi
wajahnya dan keindahan pakaiannya dengan kain hitam.
Ia menyapa Rabi’, “Assalaamu’alaikum, apakah Anda
punya setetes air penawar dahaga?” ” Wa’alaikumussalam. Insya Allah ada. Tunggu
sebentar”, Jawab Rabi’ tenang sambil membuka pintu rumahnya. Ia lalu bergegas
ke belakang mengambil air. Sejurus kemudian ia telah kembali dengan membawa
secangkir air dan memberikannya pada wanita bercadar hitam.
” Bolehkah aku masuk dan duduk sebentar untuk minum.
Aku tak terbiasa minum dengan berdiri.” Kata wanita itu sambil memegang
cangkir. Rabi’ agak ragu, namun mempersilahkan juga setelah membuka jendela dan
pintu lebar-lebar. Wanita itu lalu duduk dan minum. Usai minum wanita itu
berdiri. Ia beranjak ke pintu dan menutup pintu. Sambil menyandarkan tubuhnya
ke daun pintu ia membuka cadar dan kain hitam yang menutupi tubuhnya. Ia lalu
merayu Rabi’ dengan kecantikannya.
Rabi’ bin Khaitsam terkejut, namun itu tak berlangsung
lama. Dengan tenang dan suara berwibawa ia berkata kepada wanita itu, ” Wahai
saudari, Allah berfirman, ” Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya.” Allah yang Maha pemurah telah menciptakan dirimu dalam
bentuk yang terbaik. Apakah setelah itu kau ingin Dia melemparkanmu ke tempat
yang paling rendah dan hina, yaitu neraka?!
” Saudariku, seandainya saat ini Allah menurunkan
penyakit kusta padamu. Kulit dan tubuhmu penuh borok busuk. Kecantikanmu
hilang. Orang-orang jijik melihatmu. Apakah kau juga masih berani bertingkah
seperti ini?!”
” Saudariku, seandainya saat ini malaikat maut datang
menjemputmu, apakah kau sudah siap? Apakah kau rela pada dirimu sendiri
menghadap Allah dengan keadaanmu seperti ini? Apa yang akan kau katakan kepada
malakaikat munkar dan nakir di kubur? Apakah kau yakin kau bisa
mempertanggungjawabkan apa yang kau lakukan saat ini pada Allah di padang
mahsyar kelak?!”
Suara Rabi’ yang mengalir di relung jiwa yang penuh
cahaya iman itu menembus hati dan nurani wanita itu. Mendengar perkataan Rabi’
mukanya menjadi pucat pasi. Tubuhnya bergetar hebat. Air matanya meleleh. Ia
langsung memakai kembali kain hitam dan cadarnya. Lalu keluar dari rumah Rabi’
dipenuhi rasa takut kepada Allah swt. Perkataan Rabi’ itu terus terngiang di
telinganya dan menggedor dinding batinnya, sampai akhirnya jatuh pingsan di
tengah jalan. Sejak itu ia bertobat dan berubah menjadi wanita ahli ibadah.
Orang-orang yang hendak memfitnah dan mempermalukan
Rabi’ kaget mendengar wanita itu bertobat. Mereka mengatakan,” Malaikat apa yang
menemani Rabi’. Kita ingin menyeret Rabi’ berbuat maksiat dengan wanita cantik
itu, ternyata justru Rabi’ yang membuat wanita itu bertobat!”
Rasa takut kepada Allah yang tertancap dalam hati
wanita itu sedemikian dahsyatnya. Berbulan-bulan ia terus beribadah dan mengiba
ampunan dan belas kasih Allah swt. Ia tidak memikirkan apa-apa kecuali nasibnya
di akhirat. Ia terus shalat, bertasbih, berzikir dan puasa. Hingga akhirnya
wanita itu wafat dalam keadaan sujud menghadap kiblat. Tubuhnya kurus kering kerontang
seperti batang korma terbakar di tengah padang pasir.
____________________________________________________
Written by : Azang kecil
