Kemarin , saya bertakziah
mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. Beliau
adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja
keras. Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini,
beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya
dan Shubuh.
Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak
mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya
terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. Kesadarannya mulai
menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Sering
menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur
dan kepayahan.
Anak-anak beliau diajari dengan cukup
baik oleh sang ayah. Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan
akrab serta dekat. Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya
demi berbakti kepada orangtua.
Namun ada beberapa kisah yang mengiris
hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita
bisa mengambil ibrah.
Terkisah, suatu hari di malam lebaran,
sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang
anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah
di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam,
beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,
"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa
beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam
igauannya.
Sang anak menjawab, "Pak Rahman
sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal
Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.
"Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak
Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.
"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak
ayah ke tiga."
"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid
itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam
pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah
masih dalam keadaan setengah sadar.
Sang anak tidak dapat berkata apa-apa
lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang
anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota.
Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda
kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya.
Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan
kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati
sang ayah.
Kali yang lain, sang ayah di tengah
malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan
mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan
segera, tangan sang anak ditepis.
"Ini bukan tangan istriku. Mana
istriku?" tanya sang ayah.
"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab
anak-anak.
"Tangan kalian kasar dan keras.
Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku.
Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."
Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh
sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang
anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya,
sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.
"Pulanglah kapan engkau tidak
sibuk."
Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti
biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri.
Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun,
beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.
Mungkin beliau butuh hiburan dan canda
tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk
dengan keluarganya.
Mungkin beliau ingin menggenggam tangan
seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa
kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar
karena hadiah kerupuk tersebut. Namun, bocah itu sekarang telah menjelma
menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah
merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang
sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya
begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata,
"Baiklah, ayah mengerti."
Kemarin siang, saya sempat meneteskan
air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti
sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak
yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu
ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.
Maka sudah seharusnya, kita, ya kita
ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu
kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena
bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan
perusahaan?
Bukan juga sebagai sosok yang hanya
butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang
kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri
dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?
Wahai yang arif, yang budiman, yang
penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga,
lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan
pandangan kanak-kanak kita. Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita.
Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan
tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, "Ke mana ayah,
Bu? Ke mana ibu, Ayah?"
Lalu menangis kencang setiap kali
ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
Wahai yang menangis kencang ketika kecil
karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli
dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah
meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?
Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa
akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita,
benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak
kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan
sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.
Bersiaplah dari sekarang, agar kelak,
ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau
mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan
pun juga.
Smoga mnjadi bahan
renungan bagi kita semua.
Semoga bermanfaat .
Semoga bermanfaat .
_____________________________________________________________________
Written by : H.
Abdullah Najib
 

 
    