1. Perkawinan Berbeda Agama Menurut Ulama.
Istilah perbedaan agama atau ikhtilaf al-din dijumpai pada pasal 61 KHI.Di samping
itu didapati pula yang memiliki padanan kata dengan kata lain yaitu
dengan kata orang yang tidak beragama Islam (non muslim). Ini terdapat
dalam pasal 40, 44, dan 116.
Dengan demikian terlihat bahwa pengertian perkawinan beda agama di sini
adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim baik pria maupun
wanitanya dengan penganut agama lain (non muslim) secara keseluruhan,
tanpa terkecuali pria dan wanitanya berasal dari agama yang mana.
Misalnya perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan penganut
agama Kristen Protestan, atau seorang muslim dengan seorang penganut
agama Budha, dan yang lainnya. Sedangkan perkawinan antara non muslim
dengan non muslim lainnya tidak ada disinggung oleh Kompilasi Hukum
Islam. Hal ini terjadi, karena Kompilasi Hukum Islam hanyalah mengatur
tentang ketentuan yang berlaku bagi orang Islam saja.
Hukum
perkawinan berbeda agama dalam pandangan ulama akan dilihat dalam
beberapa literatur terutama dalam penafsiran ulama terkait dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang membincangkan tentang persoalan ini.
a. Pandangan Imam al-Qurtubi.
Pandangan Imam Al-Quthubi tentang nikah berbeda agama dapat dilihat dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an,
juz 2 halaman 235-236. Ayat yang dijadikan penjelasan adalah Q.S.
Al-Baqara ayat 221dan surat al-Maidah ayat 5. Surah Al-Baqarah ayat 221
mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah kemudian surah al-Maidah ayat 5 menasakh sebagian hukum yang ada di dalam surah Al-Baqarah ayat 221 tersebut.Wanita-wanita ahl-al-Kitab
dihalalkan oleh surah al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah
pendapat Ibn ‘Abbas, Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan
Sufyan bin Sa’id al-Tsuri dan ‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
Menurut
Qatadah dan Sa’id bin Jubair bahwa lafaz ayat 221 surah al-Baqarah
tersebut umum, masuk di dalamnya setiap wanita kafir, tetapi yang
dimaksud adalah khusus. Jadi di dalam ayat itu tidak termasuk al-kitabiyat. Kekhususan tersebut dapat diketahui dari adanya ayat 5 surah al-Maidah. Pendapat seperti ini dikatakan juga sebagai salah satu pendapat Imam Syafi’i’
Menurut
sebagian ulama bahwa kedua ayat tersebut (al-Baqarah: 221 dan
al-Maidah: 5) tidak bertentangan antara satu dengan lainnya, karena
lafaz al-Syirk tidak meliputi ahl al-kitab.
b. Penjelasan Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan ahl al-kitâb
adalah Yahudi dan Nasrani. Dia tidak memberikan kriteria tertentu
sehingga dengannya Yahudi dan Nasrani tersebut dapat disebut sebagai ahl al-kitâb. Bahkan, orang nasrani yang mempersekutukan al-Masih dengan Tuhan pun, dia kategorikan sebagai ahl al-kitâb. Hamka berkata:
“Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab
sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan
Isa Almasih, mengatakan Almasih anak Allah. Padahal soal ini telah
diperbincangkan sebelum ini dalam surah al-Nisa dan akan dibicarakan
lagi beberapa ayat sesudah ini di dalam surat ini sendiri. Soal orang Nasrani
mempersekutukan Almasih dengan Tuhan Allah adalah masalah yang berdiri
sendiri. Sekarang datang ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah
bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap Isa Almasih, namun makanan mereka halal kamu makan”.
Hamka
mengemukakan pandangan para ulama dalam kitab-kitab fiqh yang
menerangkan bahwa seorang suami muslim, jika diminta oleh isterinya yang
Nasrani tersebut untuk menemaninya ke gereja, patutlah sang suami itu
mengantarkannya, dan dirumah, sang suami jangan menghalangi isterinya itu untuk mengerjakan agamanya. Kebolehan mengawini perempuan ahl al-kitâb ini
menurut Hamka adalah bagi laki-laki muslim yang kuat keislamannya (agamanya). Hamka berkata:
“Kalau
ada ‘pertemuan nasib’, mendapat jodoh perempuan Yahudi atau Nasrani
dengan laki-laki Islam yang kuat keislamannya, tidaklah dilarang”
Bagi laki-laki muslim yang kuat agamanya, sehingga dia dapat membimbing
isterinya dan keluarga isterinya tersebut ke jalan yang benar atau
masuk Islam, maka perkawinan seperti itu tidak saja boleh tetapi bahkan
merupakan “perkawinan yang terpuji dalam Islam”.
c. Penjelasan M.Qurasih Shihab.
M.Qurasih Shihab. Beliau mengatakan larangan mengawinkan perempuan muslimah dengan pria non muslim – termasuk pria ahl al-kitab-,
diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Isyarat ini dipahami dari redaksi surah
Al-Baqarah: 221, yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria
muslim dengan wanita ahl al-kitab, dan sedikitpun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, pasti ayat itu akan menegaskan.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang bebeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria muslim dan perempuan ahl al-kitab (utu al-kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak saat itu, tetapi juga karena seorang muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita, jika beragama Islam, dapat menoleranasi dan mempersilahkan ahl al-kitab menganut dan melaksanakan syari’at agamanya. Lakum dinukum wa liya din (bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku) (Q.S. Al-Kafirun:6).
Shihab menjelaskan bahwa ahl al-kitab yang boleh dikawini adalah yang diungkap dalam redaksi ayat di atas: wa al-muhshanat minal ladzina utul kitab. Kata al-mushshanat di sini berarti wanita-wanita yang terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab suci. Makna terakhir ini dipahami dan penggunaan kata utuw yang selalu digunakan AL-Qur’an untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istila ahl al-kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.
Dalam
menjelaskan ini, Shihab juga mengutip pandangan Mahmud Syaltut dalam
kumpulan fatwanya. Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan
kaedah syari’ah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki
wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah
kewajiban seorang suami muslim –berdasarkan kepemimpinan yang
disandangnya- untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak
Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non muslimah yang ahl al-kitab,
agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga
terkikis dari istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dengan
perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang
istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara
amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu
ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi
tidak sebaik istri.
Selanjutnya Mahmaud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dituliskan di atas tidak terpenuhi, sebagaimana sering terjadi pada masa kini, maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.
Kalau
seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan Non muslim karena
kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang
berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan
seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl al-Kitab harus pula tidak
dibenarkan jika dikahwatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh
nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
_______________________________
Written by : azang kecil