10 Perkara Tak Bermanfaat Yang Harus Diwaspadai
Seorang Muslim
SUDAH fitrah manusia
untuk hidup bahagia. Bahkan lebih dari sekedar bahagia, seorang Mukmin pasti
menginingkan eksistensi dirinya bisa memberikan manfaat bagi sesama. Apalagi,
Rasulullah Shallallahu alayhi wasallam menjelaskan bahwa manusia terbaik di
antara kaum Muslimin adalah yang paling banyak memberi manfaat.
Akan tetapi, belum banyak yang benar-benar mengerti bagaimana menempa diri
menjadi pribadi bahagia dan bermanfaat.
Kebanyakan justru banyak yang terjebak pada perkara-perkara yang tidak
bermanfaat bagi dirinya sendiri. Bukan karena mereka tidak berilmu, tetapi
karena salah dalam memanfaatkan ilmunya.
Jika hal ini terjadi, bagaimana mungkin seorang Mukmin bisa menjadi manusia
terbaik di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya Fawaidul Fawaiddisebutkan
bahwa ada 10 perkara yang tidak bermanfaat, dimana kita mesti waspada dan
berupaya untuk menjauhinya.
Pertama, ilmu yang tidak diamalkan
Hal ini berlaku pada apapun yang masuk kategori ilmu. Shalat misalnya,
ketika seorang Muslim mengerti bahwa shalat itu wajib, namun melalaikannya,
maka jelas ia berada dalam kategori ini. Termasuk berhijab atau berjilbab.
Muslimah yang sudah mengerti wajibnya jilbab, namun mengabaikannya, akan
termasuk pada kategori kesia-siaan ini.
Oleh karena itu, Rasulullah mengajarkan kita doa penting, “Ya Allah,
sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari
hati yang tidak khusyu’, dan dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari do’a
yang tidak terkabul.” (HR Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i).
Terhadap orang berilmu namun tidak mengamalkannya, inilah ancaman untuk
mereka.“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah bersabda: “Pada malam diisra’kan,
aku melewati orang-orang yang lidah mereka dipotong dengan alat-alat pemotong
dari api neraka. Aku bertanya: Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril
menjawab: “Para khatib ummatmu yang mengatakan apa yang tidak mereka perbuat.” (HR
Bukhari & Muslim).
Kedua, amal yang
dilakukan dengan tidak ikhlas dan tidak mengikuti syari’at Islam
Ketiga, harta yang tidak
diinfakkan
Padahal, orang yang mengumpulkannya tidak dapat menikmati perbendaharaan
ini untuk selama-lamanya di dunia dan tidak pula dapat dipersembahkan ke
hadapan Allah di akhirat kelak.
Keempat, hati yang konsong dari kecintaan kepada Allah, kerinduan
terhadap-Nya, dan kenyamanan ketika berada di dekat-Nya.
Kelima, anggota badan
yang tidak dipergunakan untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan melayani-Nya.
Keenam, cinta yang tidak
terikat dengan keridhaan Allah dan tidak terkait dengan pelaksanaan
perintah-perintah-Nya.
Ketujuh, waktu yang tidak dimanfaatkan untuk melakukan sesuatu yang
terlewatkan, ataupun untuk memperoleh kebajikan dan kedekatan kepada Allah.
Apabila seorang Muslim bisa melakukan perkara ketujuh ini, insya Allah
tidak waktu yang terlewati, kecuali dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas
dirinya di sisi Allah Ta’ala.
Misalnya, ia tidak bangun tahajjud, maka ia akan menggantinya
dengan 12 rakaat Dhuha di siang hari. Jika sehari ia tidak membaca Al-Qur’an,
maka ia akan ‘menghukum’ dirinya dengan infak sebesar 50 ribu rupiah atau lebih
besar lagi. Dua tindakan tersebut disebut denganMu’aqabah, yakni menghukum
diri sendiri atas kelalaian yang dilakukan atau maksiat yang dikerjakan.
Kedelapan, pikiran yang memikirkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dalam konteks
kekinian, ini mungkin dialami oleh sebagian besar orang yang suka
berangan-angan. “Andai saja aku punya ini, punya itu, namun ia sama sekali
tidak pernah memikirkan kesehariannya, apakah sudah diisi dengan ketaatan atau
tidak. Apakah sudah memahami Al-Qur’an atau belum. Kalau belum idealnya ya
berpikirlah untuk banyak membaca dan mentadabburinya.
Kesembilan, melayani siapa saja yang tidak membuat Anda – dengan pelayanan itu –
bertambah dekat dengan Allah, juga tidak menghasilkan kebaikan bagi dunia Anda.
Kesepuluh, merasa takut atau menaruh harap kepada orang yang ubun-ubunnya berada
di tangan Allah. Padahal, orang itu tertawan di dalam genggaman-Nya dan tidak
kuasa mencegah bahaya atau mendatangkan manfaat bagi dirinya sendiir, tidak
pula ia sangguh menolak kematian, kehidupan, maupun kebangkitannya kelak.
Kesepuluh perkara sia-sia di atas dibagi dalam dua kategori oleh Ibn Qayyim
Al-Jauziyah. Yakni penyia-nyiaan hati, yang muncul akibat mengutamakan dunia
daripada akhirat. Dan, penyia-nyian waktu yang muncul akibat larut dalam
angan-angan.*