[ Opini ] Puasa Pasca Puasa
Ramadhan (Puasa) sudah memasuki hari kelima belas. Tidak lama
lagi, bulan yang sangat istimewa ini pun akan segera kita tinggalkan. Banyak
orang menangisi kepergiannya. Sebagian ulama berpendapat, tangisan itu terjadi
karena bulan tersebut adalah bulan agung (syahr ‘adzim), bulan mulia (syahr
‘aly), bulan penuh berkah (syahr mubarak), bulan pengampunan (syahr maghfirah),
bulan penuh rahmat (syahr rahmah), dan bulan pembebasan dari api neraka (syahr
itqun min al-naar).
Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat, kepergiannya
sangatlah ditangisi karena di bulan tersebut semua amal ibadah diterima, pahala
dilipat-gandakan, dosa-dosa dilebur, gerbang-gerbang surga dibuka lebar,
pintu-pintu neraka ditutup rapat, dan setan-setan diikat. Juga di bulan ini
pula, ada satu malam yang disebut lailatul qadar, yang keutamaannya melebihi
seribu bulan (QS. 97: 1-5).
Di luar itu, berakhirnya bulan ini juga banyak ditangisi orang
karena spirit pembebasan yang dibawanya. Spirit ini tercermin dalam
perintah menjalankan puasa (QS. 2: 183), yaitu menahan diri (imsak) dari lapar
dan dorongan nafsu (lapar bawah perut). Kedua kelaparan ini harus ditahan
karena dari keduanya dunia ini seringkali kacau.
Karena alasan lapar, orang sering melakukan tindakan gelap mata.
Ia tidak bisa lagi melihat dan membedakan kebaikan sebagai kebaikan, kebenaran
sebagai kebenaran, dan kemuliaan sebagai kemuliaan. Juga karena alasan lapar,
orang sering melakukan tindakan-tindakan yang anarkis, pencurian, bahkan
melacurkan diri semisal menjadi WTS. Dengan berpuasa, seseorang dilatih
untuk tidak menjadikan lapar sebagai justifikasi terhadap
pelanggaran-pelanggaran moral dan hukum.
Dengan pengendalian nafsu, manusia dibebaskan dari kungkungan hawa
nafsunya sendiri. Hal ini tak lain karena dalam diri setiap manusia dipancarkan
dua sinar kendali, fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha, yakni kendali negatif
(fujur) dan kendali positif (taqwa) (QS.91: 8).
Manusia yang dikendalikan oleh fujur-nya, hedonismenya, dia akan
terkondisikan menjadi orang yang terbiasa melakukan pelanggaran nilai-nilai
kebaikan dan moralitas. Begitu juga sebaliknya. Untuk itu, pembebasan dalam
konteks ini harus diartikan sebagai pembebasan diri manusia dari kendali dan
hegemoni nafsu fujur. Karena ketika fujur bisa dikendalikan, maka yang kemudian
terpancar adalah kendali taqwa, sebagaimana tujuan akhir dari perintah puasa
ini, la’allakum tattaquun (agar kamu menjadi orang yang bertakwa).
Struktur Pembebasan
Apakah setelah Ramadhan berlalu, manusia mampu keluar dari
keadaannya semula? Apakah spirit pembebasan yang terpancarkan dari ajaran puasa
bisa tertanam tidak hanya pada bulan Ramadhan saja, tetapi juga sebelas bulan
setelahnya? Juga bagaimana caranya agar nafsu fujur yang selama sebulan bisa
dikendalikan, sebelas bulan berikutnya tetap bisa dikendalikan?
Ada dua hal yang bisa dilakukan supaya spirit pembebasan ini bisa
tetap muncul. Pertama, merevitalisasi pemahaman keagamaan yang simbolistik.
Bahwa ritual keagamaan bukanlah puncak dari ekspresi keberagamaan, tetapi
hanyalah ‘media’ penghayatan iman. Ia sangat berbeda dengan ‘pengamalan’ iman
itu sendiri.
Usaha semacam ini akan membantu seseorang untuk tidak hanya
berbicara tentang technical ritualistic saja, semisal apa syarat-rukunnya
puasa, hal-hal apa saja yang membatalkan puasa, kapan dan bagaimana niat puasa
diucapkan, tetapi lebih kepada, apa yang mesti dilakukan setelah orang
menjalani puasa (post ritual). Apakah orang yang berpuasa akan bertindak sama
buruknya dengan ketika ia belum berpuasa, ataukah sebaliknya.?
Kedua, menstrukturisasi kesadaran keagamaan dari yang sifatnya
personal ke kesadaran yang sifatnya sosial. Puasa yang pada awalnya adalah
momen pembebasan diri sendiri (even personal), harus diwujudkan dalam tatanan
masyarakat yang lebih luas. Artinya, puasa personal yang dilakukan pada bulan
puasa harus diimplementasikan ke dalam puasa sosial, puasa yang distrukturkan
dalam tatanan masyarakat agar orang menghormati yang lain, supaya orang dapat
mengendalikan nafsu fujur-nya, supaya orang memiliki komitmen untuk selalu
mengulurkan tangan untuk umat yang lemah, dan seterusnya.
Strukturisasi kesadaran ini penting karena ajaran-ajaran agama
yang bersifat personal, akan mempunyai dampak sosial yang nyata. Bukankah
peristiwa-peristiwa sosial pangkalnya adalah perkara-perkara personal? Juga
kesalahan kolektif, bukankah terjadi karena kesalahan-kesalahan personal?
Pendeknya, puasa yang ritual adalah puasa yang dijalani selama bulan Ramadhan,
tetapi puasa yang aktual adalah sebelas bulan sesudahnya. (Masdar F. Mas’udi:
2002)
Ritual Tanpa Bekas?
Inilah tantangan yang mesti kita hadapi bersama. Puasa yang kita
lakukan selama bulan Ramadhan, sampai sekarang ini, ternyata belum mampu
mendidik kaum muslim menjadi pribadi-pribadi yang bertaqwa. Mereka ternyata
belum mampu menangkap pesan pembebasan yang terkandung dalam ajaran puasa.
Mereka masih terjebak pada simbol keagamaan yang ritualistik.
Kenyataan demikian bisa dilihat dari maraknya perilaku yang jauh
dari nilai-nilai etis. Orang masih sering tidak bisa menahan diri dari hal-hal
yang diharamkan, terlebih yang dihalalkan. Orang masih suka berbohong, meskipun
selama sebulan penuh ia ditempa puasa. Orang masih tidak mau berbagi, meski di
sekitarnya dijumpai masyarakat yang tidak bisa makan dan hidup dalam
kemelaratan.
Parahnya lagi, ada juga orang yang menjadikan puasa Ramadhan hanya
sebagai tameng dalam menjalani hidup. Ramadhan dijadikannya sebagai bulan
“kepura-puraan”; pura-pura beramal salih dan bersedekah, pura-pura tidak
korupsi, pura-pura berbuat baik kepada rakyat miskin, dan kepura-puraan yang
lain. Sebelas bulan berikutnya, mereka kembali melakukan tindakan melawan
hukum, serta mengeksploitasi masyarakat demi meraih tujuan pribadinya.
Akhirnya, puasa hanyalah ritual rutin yang tidak memberikan dampak
apapun bagi perubahan bangsa ini. Sehabis puasa, praktik koruptif kembali
terjadi. Orang miskin terus dimiskinkan, meskipun pelaku pemiskinan itu telah
menjalani puasa sebulan penuh. Hukum pun hanya berpihak pada orang-orang yang
memiliki duit dan akses hokum. Nafsu fujur yang telah berhasil ditaklukkan
selama puasa berlangsung, kembali menguasai bahkan seketika Syawal datang.
Jadi, untuk apa sebenarnya kita berpuasa? Benarkah untuk mengubah
diri menjadi pribadi yang lebih bertaqwa, atau hanya lantaran tidak enak dengan
tetangga? Mampukah kita menangkap pesan pembebasan puasa sebagaimana mestinya,
la ‘allakum tattaquun, sehingga berbuah semangat untuk membebaskan orang-orang
yang tertindas, dan menciptakan tata kehidupan yang berkeadilan? Inilah
tantangan pasca puasa yang mesti dijawab.!
Muhtadin, Pelaksana pada Sekretariat Ditjen Pendidikan Islam